Tuesday, July 14, 2020

Alat Rumah Tangga yang Berasal Dari Alam




Peralatan bebersih dan barang lainnya di atas termasuk produk yang salah satu komponennya berasal dari alam. Ada ijuk, lidi, kayu, dan serat tanaman. Kita tahu kalau sejak lama bahan-bahan alam ini banyak dimanfaatkan dan mudah didapat. Apalagi sekarang lagi booming gaya hidup minim sampah dan ramah lingkungan. Produk yang dihasilkan menjadi lebih beragam, seperti sikat WC. Tapi kita tahu kalau sejak dahulu kala apa yang digunakan manusia berasal dari alam, didapat dari alam. 

Monday, July 13, 2020

Dikirim Kemana Kardus Tetra Pack?

When I got the tetrapack drink, I didn't use the straw. Just cut the pack. Slurp slurp, drink it.
Aku pernah ngumpulin kardus jenis ini, tapi karena hanya menumpuk dan tidak tahu harus dikemanakan (saat itu aku belum tahu ada bank sampah yang terima tetrapack), akhirnya dibuang ke tong sampah komplek rumah. Tapi aku tidak menyerah. Aku tetap memilah sampah di rumah. Kukumpulkan kotak tetrapack dari berbagai jenis minuman dan merk yang sudah dibersihkan dan kering. Sampai akhirnya sekitar tahun 2019 aku menemukan Armada Kemasan Nusantara (IG: @armadakemasan). Karena letaknya masih satu kota denganku, maka kiriman pertama berhasil sampai ke tempat yang tepat.
Kebanyakan tetrapack yang terkumpul bukan didapat dari beli langsung. Ada aja tetangga, teman, atau saudara yang ngasih. Tidak berapa lama terkumpul satu kardus sepatu. Tapi kali ini kuberikan ke panitia kajian kesehatan yang menerima sampah tetrapack dan minyak jelantah.
Untuk sampah jenis ini, jangan dibuang gitu aja, yah. Banyak yang mau tampung. Cari aja di kota kalian. Armada Kemasan juga punya drop point yang bisa kalian cek langsung di instagram-nya. Dan untungnya menerima banyak jenis sampah anorganik, seperti sedotan tetrapack. Selamat memilah!

Sunday, July 12, 2020

Isi Steples yang Dikumpulkan

Botol bekas parfum ini jadi tempat penampungan: pita kawat, alumunium foil bekas coklat dkk, isi steples, dan potongan logam kecil.
Aku berusaha mengurangi penggunaan steples. Yang susah kalau ada yang ngasih snack. Tapi itulah gunanya botol ini.
Aku pernah membeli alat yang bisa menjepit kertas yang katanya tanpa steples. Tapi tidak bertahan lama. Hasilnya bisa kalian lihat di foto-foto berikut:


Pada masanya, aku malah pernah ngumpulin isi steples dan dipakai lagi. Kalo ada yang bengkok aku ratain pakai tang. Aku gak perlu beli isinya karena ada stok bekas. Tapi setelah sekian lama cara ini tidak baik. Aku hanya memanfaatkannya kembali dan memindahkannya ke tempat lain. Itu kenapa aku kumpulin. Mungkin kalo udah berbotol-botol bisa dikiloin kali besi steplesnya.

Deodorant yang Kuhentikan

Jadi, udah tiga tahunan ini aku gak pake deodorant. Waktu sekolah aku hanya pakai bedak purol. Baru pas kuliah beli deodorant. Itu juga enam bulan lebih baru abis, tergantung seberapa sering aku pergi. Tau, yah, kalo deo suka bikin bagian ketiak kaos atau atasan kuning? Sebenarnya, alasanku berhenti pakai deo bukan hanya itu, tapi juga karena komposisinya. Aku nyadar banget kalau bahan-bahan yang kita pakai untuk tubuh semuanya kimia. Sabun, sampo, pasta gigi, pelembab. Bahan alaminya seberapa persen, sih? Aku bukan ahli kimia, cuma bekal kimia SMA, jadi enggak akan nyebutin nama bahannya. Sederhana aja, pas baca komposisinya, baru ngeh kalo ada bahan yang kayaknya enggak banget. Kasian aja badan kalo diolesin itu terus. Iya, sih, mungkin gak akan langsung bikin badan penyakitan, but I love my body. Kalo ada alternatif lain, aku pilih yang paling ringan bahannya, sekalipun sama-sama kimia. Jadi aku kembali pakai bedak. Cuma bedak salicyl yang ada di rumah. Alhamdulillah ada saatnya aku gak bau badan. Tapi kalo pergi-pergi haruslah jaga badan.
Selain bahan kimianya, aku masih mikirin kemasannya yang gak tau bakal didaur ulang atau enggak. Jadi daripada nambah sampah plastik yang keras, gak papalah pake plastik yang lebih ringan. Mungkin pilihanku ini tidak akan mengurangi sampah botol. Hanya memilih alternatif lain. Aku juga gak bisa bilang apa yang kulakukan berefek baik bagi lingkungan. Who knows? Ini cuma pilihanku yang mengurangi bahan kimia dan jenis plastik kemasan yang berbeda.

Tuesday, June 30, 2020

Ecobrick: Aku Berhenti Membuatnya

Siang itu setelah zuhur, walau terlambat datang ke acara talk show sampah yang diselenggarakan EH Depok, kalimat Kak Gibran (pemilik Sendalu Permaculture) membuatku setuju.
Aku sempat penasaran dan antusias ingin praktik membuat ecobrick sendiri di rumah sekitar akhir 2017. Rencananya aku mau membuat jongkok atau bangku kecil pendek buat duduk sambil ngucek cucian. Aku mengumpulkan botol teh pucuk dan beberapa botol fruit tea; mengumpulkan plastik bekas permen, ciki, snack, deterjen, pokoknya yang lunak dan bisa dengan mudah masuk lubang botol. Prosesnya yang harus ditekan kuat-kuat bikin paha kenger, telapak tangan sedikit kapalan.
Begitu selesai membuat sepuluh lebih botol ecobrik dalam rentang waktu sampai awal 2018, aku tidak bisa membuatnya menjadi bangku sesuai ide awal. Aku butuh lem khusus yang kuat atau setidaknya bingkai kayu sebagai tempat si botol-botol itu saling bersusun. Pakai tali pun tidak akan semudah itu menegakkan susunan botol. Bisa-bisa ambyar. Akhirnya aku memutuskan tidak melanjutkannya. Ecobrick teronggok begitu saja sambil aku mencari tempat yang membutuhkannya. Dan sampailah kumpulan ecobrick tadi ke suatu tempat komunitas di Depok 2019 awal (rentang waktu yang lama sampai si ecobrick di tangan yang tepat).
Apa aku berniat kembali membuat ecobrick? Dengan berbagai pertimbangan, jawabannya tidak. Aku punya pilihan sendiri dan mendengar Kak Gibran mengatakan alasannya tidak membuat ecobrick, aku tidak menyangkal kalau memang butuh tenaga untuk membuatnya. Dan yang paling mengena adalah kalimatnya yang merasa malu kalau gapura tempatnya dari ecobrick. Itu bukan prestasi, tapi menunjukkan berapa banyak konsumsi kita. Tolak ukurnya justru adalah semakin sedikit sampah yang dihasilkan.
Ecobrick menjadi salah satu cara mencegah sampah plastik yang kecil-kecil yang kebanyakan sulit didaur ulang agar tidak berakhir di TPA atau mencemari lingkungan. Dan itu bukan berarti kita akan terus menghasilkan sampah plastik. Kenapa tidak menguranginya yang merupakan hierarki pertama 8R. Tolak kalau tidak butuh. Cari alternatif lain agar tidak menghasilkan sampah plastik yang belum tentu diterima bank sampah. Adanya bank sampah dan ecobrick tidak menjadikan kita tetep konsumtif dan santai dengan jumlah sampah plastik yang terus kita hasilkan. Itu salah satu kemudahan dari proses memilah. Kalau sampah yang dihasilkan tetap banyak, maka kita belum berada dijalur yang sesuai.

Zero Waste yang Terburu-buru


Mungkin itu namanya zero waste membabi buta yang segala macam barang mengandung plastik diganti kayu. Di satu sisi aku senang dengan banyaknya orang di muka Bumi ini yang begitu aware dan tertarik dengan konsep zero waste. Konsep yang ternyata sudah ada sejak awal 2000-an. Tahulah, yah, isu tentang lingkungan dan puncaknya pemanasan global? Tapi di sisi lain aku juga sedih kalau itu hanya menambah daftar belanjaan kita. Daftarnya pasti panjang, menambah pengeluaran lain, belum lagi waktu dan jarak untuk mendapatkan si barang. Saat ini belum banyak toko offline yang menjual barang zero waste. Kebanyakan masih online. Bukan mengganti segala barang menjadi kayu yang utama, tapi bagaimana mengurangi sampah dan segala yang membuntutinya (jejak karbon, misalnya).
Sejauh ini aku termasuk yang membeli sedotan stainless steel, sikat gigi bambu, dan satu lembar reusable cotton pad. Well, setelah itu aku tidak berniat membeli segala tas belanja jaring atau tempat bekal stainless steel (selain karena harganya yang lumayan mahal).
Proses pembelian yang kebanyakan masih online pasti menyebabkan sampah paket. Bertambahlah sampah di rumah kita. Kalau enggak pinter-pinter muter otak, pasti berakhir di tempat sampah. Belum lagi proses produksinya yang apakah lebih ramah lingkungan. Apakah lebih pendek rantai produksinya dibanding tanpa sedotan yang bisa dipakai berulang kali?
Intinya bukan hal yang salah juga. Tapi kalau masih bisa diminum langsung, yah aku lebih memilih tanpa sedotan. Bahkan untuk alasan aestetik pun kalau hanya akan menambah sampah, lebih baik enggak usah. Gak masalah gak minum cantik, kan? Bisa kok tanpa sedotan. Kecuali kamu sakit dan gak bisa minum sambil duduk.
Ujung-ujungnya aku membuat sendiri napkin, reusable cotton pad, kantung belanja kain. Semuanya dari kain perca. Enggak beli bahan kain baru. Bahkan aku masih pakai kantung plastik kalau belanja. Kan masih bisa dipakai lagi. Aku masih beli yang plastik-plastik kalo butuh dan lebih mudah didapat.
Kita masih harus bijak dan berpikir kritis tentang apa itu zero waste. Bukan barangnya, tapi kebiasaannya yang harus dijaga.

Monday, June 29, 2020

Belajar Mengurangi Barang

Barang-barang sandang yang kumiliki saat ini tidak banyak berubah atau bertambah dibanding satu dekade lalu. Tapi masalah utamaku adalah beragam koleksi, pretelan kecil-kecil yang sampai memakan satu box ukuran 20 liter. Tidak banyak, tapi cukup mengganggu.
Sekitar pertengahan 2016, aku mulai membagikan barang-barang kecil tak terpakai, termasuk milik dua adik lelakiku. Ada jam tangan, pin-pin, gelang, rautan, beragam pensil dan penghapus yang semuanya adalah barang koleksi. Lalu aku mulai menjual buku second di Bukalapak dan Tokopedia. Sebagai kenangan aku memfoto barang-barang koleksi tadi dan menyimpannya di Instagram. Aku juga membuat kerajinan tangan dari karton tebal undangan sebagai hadiah untuk temanku.
Mengurangi barang-barang sandang ini masih berlanjut sampai sekarang. Apalagi setelah aku membaca buku Konmari dan Seni Hidup Minimalis, rasanya aku ingin membongkar seluruh isi rumah sebelum meninggalkannya dan memulai hidup baru.
Kita tidak bisa memisahkan decluttering dan sampah dari alam. Semuanya saling terhubung. Tidak afdhol rasanya kalau hanya fasih memilah sampah tapi punya barang di luar kebutuhan atau menerapkan hidup minimalis, tapi tidak memilah dan mengurangi sampah. Atau melakukan zero waste, tapi masih jahatin badan (makan gak bener).
Aku tidak ingin terganggu hanya karena banyak barang. Semakin banyak barang, semakin banyak waktu dan tenaga yang harus ada untuk merawat mereka. Padahal waktu kita bisa dipakai untuk hal lain yang lebih penting. Iya, kan?