Selama sepuluh
tahun aku hanya konsen pada tiga jenis sampah: organik (yang selalu dipegang
ibuku), kertas, dan plastik (apapun jenisnya). Karena masih kecil, masih
remaja, masih awal 20-an, urusan sampah organik sudah otomatis ditangani ibuku.
Aku hanya berusaha memilah sampah segala jenis kertas (campur aja) dan segala
jenis kardus. Untuk sampah plastik keras (bukan kresek dan kemasan bekas snack
atau sabun cuci) dikumpulkan dalam satu kardus atau kantung plastik besar.
Lalu aku
menemukan informasi tentang berbagai jenis plastik (yang kodenya tertera di
bagian bawah botol atau di belakang kemasan sabun cuci piring). Tapi belum
memilah plastik berdasarkan jenisnya. Dari ke tiga jenis sampah di atas, aku
mulai perhatian dengan sampah elektronik dan tetrapak. Belum selesai di urusan
memilah, aku menemukan bank sampah di sekitar Depok yang memilah sampah sampai
30 jenis lebih. Dari situ aku semakin aware dengan segala barang di rumah dan
sekitarku yang berpotensi menjadi sampah atau rongsokan di kemudian hari.
Aku baru sampai
tahap memilah: kertas, organik, plastik, barang elektronik, tetrapak, dan isi
steples, termasuk aluminium foil bekas coklat atau permen dan pita kawat
penghias makanan atau souvenir. Aku belum pernah ke bank sampah. Sampah-sampah
yang rumahku hasilkan biasa diambil pemulung atau tukang sampah RW, ke EwasteRJ
dan ke Armada Kemasan Nusantara.
Karena mendapat
informasi tentang bahayanya sampah organik basah (yang bisa menghasilkan gas
metana dan lebih merusak lingkungan karena susah dipilah dan didaur ulang), aku
mulai perhatian pada kantung plastik pembungkus soto, baso, mie ayam, snack
basah, dan segala bungkus plastik yang basah atau berkuah. Caranya, yah, dicuci
sampai tidak ada sisa-sisa kuahnya atau isinya.
Semakin ke sini,
semakin banyak yang harus diurus, terutama plastik bungkus yang basah. Aku
mulai kelelahan karena bukannya semakin ringan, tapi malah semakin bertambah. Sedikit-sedikit
aku mengecek tempat sampah. Walau khusus sampah organik, yah, tetap mencemari
si tong sampah. Aku semakin lelah dan kesal karena hanya sendiri mengurus rumah
berisi empat orang yang suka beli makan. Keluargaku termasuk keluarga yang
jarang masak dan lebih memilih beli makanan jadi di warteg atau rumah makan.
Otomatis sampah plastik basah selalu ada. Iya, kalau aku yang pergi beli makan
dipastikan bawa wadah dan kantung belanja sendiri. Tapi kalau anggota keluarga
yang lain—kalian tahulah apa yang akan terjadi. Belum lagi kiriman makanan dari
tetangga atau saudara.
Menolak dan
mengurangi plastik memang cara paling tepat mencegah plastik basah dan kering
masuk rumah. Tapi atas nama kebiasaan dan enggak enak, sulit melakukan
keduanya. Pulang arisan, bawa oleh-oleh pakai plastik yang isinya mengandung
minyak. Ada kiriman besek tetangga yang aqiqahan atau syukuran yang isinya udah
tau apa, yah, juga menambah plastik. I feel exhausted. Belum lagi adek-adek
yang jajan minuman gelas kekinian, ciki-ciki, biskuit berlapis coklat, dan
masih banyak lagi jajan lain yang membuat si plastik kemasan bernoda. Aku pun
terjebak pada rutinitas: cuci – lap – kumpulkan – kirim ke tempat yang tepat.
Aku pun mulai
memutar otak untuk memutus rantai yang tidak sehat ini (untukku). Tapi aku
tidak bisa serta merta saklek melarang plastik. Ibaratnya, aku tidak bisa marah
pada mereka hanya karena aku sudah hafal perkalian lima dan mereka baru
perkalian dua.
Setidaknya,
sudah banyak yang tertangani terkait sampah rumah tangga. Kita mungkin baru
ditahap sadar, sudah mulai memilah, dan menyerahkannya pada tempat yang tepat.
Kita belum bisa mengurangi banyak pemakaian plastik terkait kebiasaan dan hal
yang sudah biasa. Tapi, untuk kalian yang sama exhausted-nya dengan diriku,
tetap lanjutkan untuk memilah. Lanjutkan dengan mengurangi pemakaiannya untuk
diri sendiri. Sampai jumpa ditulisan berikutnya.