Sunday, June 28, 2020

Stres Karena Sampah


Ditulisan sebelumnya aku sempat stres karena sampah. Sepertinya akan lebih mudah jika aku hidup sendiri atau mulai membangun keluarga baru. Terkadang rasa karena hanya “sendiri melakukan semuanya” datang dan membuat diri ini kecewa dan kesal. Tapi kalau aku melihat dari sudut pandang mereka, aku tidak bisa menyalahkan dengan begitu mudahnya. Kita semua berproses. Aku tahu itu. Kadang aku ingin bicara, “tolong jangan andalkan aku untuk urusan sampah dan segala yang berhubungan dengan rumah tangga. Ayo bekerja sama”. Tapi aku tahu ini bukan kisah di film atau novel yang dengan cepat seseorang berubah. Satu dua hari akan berjalan dengan baik proses memilah sampah, tapi satu saja racun malas kembali, maka semua kebiasaan yang sedang dibentuk akan kembali ke titik nol.
Sebenarnya aku tidak terlalu berharap mereka mau, tapi setidaknya tidak menambah sampah rumah tangga. Sampah yang kita hasilkan tidak hanya berakhir setelah diangkut tukang kebersihan RW. Kayak kalo udah keluar rumah, selesailah urusan sampah dan PR-nya. Tidak, tidak semudah itu.
Seiring bertambah informasi terkait sampah, aku semakin berusaha mencari cara agar sampahku (yang kuhasilkan) tidak menjadi masalah untuk orang lain. Rasanya sulit hanya karena sarana dan prasarana tidak banyak mendukung. Tapi masalahnya bukan itu. Aku ingin seperti masa ketika kecil atau pas mondok yang makan tiga kali sehari sudah cukup tanpa harus jajan atau beli minuman tambahan. Rasanya segalanya begitu tenang tanpa banyak sampah.