Ditulisan
sebelumnya aku sempat stres karena sampah. Sepertinya akan lebih mudah jika aku
hidup sendiri atau mulai membangun keluarga baru. Terkadang rasa karena hanya “sendiri
melakukan semuanya” datang dan membuat diri ini kecewa dan kesal. Tapi kalau
aku melihat dari sudut pandang mereka, aku tidak bisa menyalahkan dengan begitu
mudahnya. Kita semua berproses. Aku tahu itu. Kadang aku ingin bicara, “tolong
jangan andalkan aku untuk urusan sampah dan segala yang berhubungan dengan
rumah tangga. Ayo bekerja sama”. Tapi aku tahu ini bukan kisah di film atau
novel yang dengan cepat seseorang berubah. Satu dua hari akan berjalan dengan
baik proses memilah sampah, tapi satu saja racun malas kembali, maka semua
kebiasaan yang sedang dibentuk akan kembali ke titik nol.
Sebenarnya aku
tidak terlalu berharap mereka mau, tapi setidaknya tidak menambah sampah rumah
tangga. Sampah yang kita hasilkan tidak hanya berakhir setelah diangkut tukang
kebersihan RW. Kayak kalo udah keluar rumah, selesailah urusan sampah dan
PR-nya. Tidak, tidak semudah itu.
Seiring
bertambah informasi terkait sampah, aku semakin berusaha mencari cara agar
sampahku (yang kuhasilkan) tidak menjadi masalah untuk orang lain. Rasanya
sulit hanya karena sarana dan prasarana tidak banyak mendukung. Tapi masalahnya
bukan itu. Aku ingin seperti masa ketika kecil atau pas mondok yang makan tiga
kali sehari sudah cukup tanpa harus jajan atau beli minuman tambahan. Rasanya
segalanya begitu tenang tanpa banyak sampah.