Sunday, June 28, 2020

Belajar Zero Waste

Selama sepuluh tahun aku hanya konsen pada tiga jenis sampah: organik (yang selalu dipegang ibuku), kertas, dan plastik (apapun jenisnya). Karena masih kecil, masih remaja, masih awal 20-an, urusan sampah organik sudah otomatis ditangani ibuku. Aku hanya berusaha memilah sampah segala jenis kertas (campur aja) dan segala jenis kardus. Untuk sampah plastik keras (bukan kresek dan kemasan bekas snack atau sabun cuci) dikumpulkan dalam satu kardus atau kantung plastik besar.
Lalu aku menemukan informasi tentang berbagai jenis plastik (yang kodenya tertera di bagian bawah botol atau di belakang kemasan sabun cuci piring). Tapi belum memilah plastik berdasarkan jenisnya. Dari ke tiga jenis sampah di atas, aku mulai perhatian dengan sampah elektronik dan tetrapak. Belum selesai di urusan memilah, aku menemukan bank sampah di sekitar Depok yang memilah sampah sampai 30 jenis lebih. Dari situ aku semakin aware dengan segala barang di rumah dan sekitarku yang berpotensi menjadi sampah atau rongsokan di kemudian hari.
Aku baru sampai tahap memilah: kertas, organik, plastik, barang elektronik, tetrapak, dan isi steples, termasuk aluminium foil bekas coklat atau permen dan pita kawat penghias makanan atau souvenir. Aku belum pernah ke bank sampah. Sampah-sampah yang rumahku hasilkan biasa diambil pemulung atau tukang sampah RW, ke EwasteRJ dan ke Armada Kemasan Nusantara.
Karena mendapat informasi tentang bahayanya sampah organik basah (yang bisa menghasilkan gas metana dan lebih merusak lingkungan karena susah dipilah dan didaur ulang), aku mulai perhatian pada kantung plastik pembungkus soto, baso, mie ayam, snack basah, dan segala bungkus plastik yang basah atau berkuah. Caranya, yah, dicuci sampai tidak ada sisa-sisa kuahnya atau isinya.
Semakin ke sini, semakin banyak yang harus diurus, terutama plastik bungkus yang basah. Aku mulai kelelahan karena bukannya semakin ringan, tapi malah semakin bertambah. Sedikit-sedikit aku mengecek tempat sampah. Walau khusus sampah organik, yah, tetap mencemari si tong sampah. Aku semakin lelah dan kesal karena hanya sendiri mengurus rumah berisi empat orang yang suka beli makan. Keluargaku termasuk keluarga yang jarang masak dan lebih memilih beli makanan jadi di warteg atau rumah makan. Otomatis sampah plastik basah selalu ada. Iya, kalau aku yang pergi beli makan dipastikan bawa wadah dan kantung belanja sendiri. Tapi kalau anggota keluarga yang lain—kalian tahulah apa yang akan terjadi. Belum lagi kiriman makanan dari tetangga atau saudara.
Menolak dan mengurangi plastik memang cara paling tepat mencegah plastik basah dan kering masuk rumah. Tapi atas nama kebiasaan dan enggak enak, sulit melakukan keduanya. Pulang arisan, bawa oleh-oleh pakai plastik yang isinya mengandung minyak. Ada kiriman besek tetangga yang aqiqahan atau syukuran yang isinya udah tau apa, yah, juga menambah plastik. I feel exhausted. Belum lagi adek-adek yang jajan minuman gelas kekinian, ciki-ciki, biskuit berlapis coklat, dan masih banyak lagi jajan lain yang membuat si plastik kemasan bernoda. Aku pun terjebak pada rutinitas: cuci – lap – kumpulkan – kirim ke tempat yang tepat.
Aku pun mulai memutar otak untuk memutus rantai yang tidak sehat ini (untukku). Tapi aku tidak bisa serta merta saklek melarang plastik. Ibaratnya, aku tidak bisa marah pada mereka hanya karena aku sudah hafal perkalian lima dan mereka baru perkalian dua.
Setidaknya, sudah banyak yang tertangani terkait sampah rumah tangga. Kita mungkin baru ditahap sadar, sudah mulai memilah, dan menyerahkannya pada tempat yang tepat. Kita belum bisa mengurangi banyak pemakaian plastik terkait kebiasaan dan hal yang sudah biasa. Tapi, untuk kalian yang sama exhausted-nya dengan diriku, tetap lanjutkan untuk memilah. Lanjutkan dengan mengurangi pemakaiannya untuk diri sendiri. Sampai jumpa ditulisan berikutnya.