Tuesday, June 30, 2020

Ecobrick: Aku Berhenti Membuatnya

Siang itu setelah zuhur, walau terlambat datang ke acara talk show sampah yang diselenggarakan EH Depok, kalimat Kak Gibran (pemilik Sendalu Permaculture) membuatku setuju.
Aku sempat penasaran dan antusias ingin praktik membuat ecobrick sendiri di rumah sekitar akhir 2017. Rencananya aku mau membuat jongkok atau bangku kecil pendek buat duduk sambil ngucek cucian. Aku mengumpulkan botol teh pucuk dan beberapa botol fruit tea; mengumpulkan plastik bekas permen, ciki, snack, deterjen, pokoknya yang lunak dan bisa dengan mudah masuk lubang botol. Prosesnya yang harus ditekan kuat-kuat bikin paha kenger, telapak tangan sedikit kapalan.
Begitu selesai membuat sepuluh lebih botol ecobrik dalam rentang waktu sampai awal 2018, aku tidak bisa membuatnya menjadi bangku sesuai ide awal. Aku butuh lem khusus yang kuat atau setidaknya bingkai kayu sebagai tempat si botol-botol itu saling bersusun. Pakai tali pun tidak akan semudah itu menegakkan susunan botol. Bisa-bisa ambyar. Akhirnya aku memutuskan tidak melanjutkannya. Ecobrick teronggok begitu saja sambil aku mencari tempat yang membutuhkannya. Dan sampailah kumpulan ecobrick tadi ke suatu tempat komunitas di Depok 2019 awal (rentang waktu yang lama sampai si ecobrick di tangan yang tepat).
Apa aku berniat kembali membuat ecobrick? Dengan berbagai pertimbangan, jawabannya tidak. Aku punya pilihan sendiri dan mendengar Kak Gibran mengatakan alasannya tidak membuat ecobrick, aku tidak menyangkal kalau memang butuh tenaga untuk membuatnya. Dan yang paling mengena adalah kalimatnya yang merasa malu kalau gapura tempatnya dari ecobrick. Itu bukan prestasi, tapi menunjukkan berapa banyak konsumsi kita. Tolak ukurnya justru adalah semakin sedikit sampah yang dihasilkan.
Ecobrick menjadi salah satu cara mencegah sampah plastik yang kecil-kecil yang kebanyakan sulit didaur ulang agar tidak berakhir di TPA atau mencemari lingkungan. Dan itu bukan berarti kita akan terus menghasilkan sampah plastik. Kenapa tidak menguranginya yang merupakan hierarki pertama 8R. Tolak kalau tidak butuh. Cari alternatif lain agar tidak menghasilkan sampah plastik yang belum tentu diterima bank sampah. Adanya bank sampah dan ecobrick tidak menjadikan kita tetep konsumtif dan santai dengan jumlah sampah plastik yang terus kita hasilkan. Itu salah satu kemudahan dari proses memilah. Kalau sampah yang dihasilkan tetap banyak, maka kita belum berada dijalur yang sesuai.

Zero Waste yang Terburu-buru


Mungkin itu namanya zero waste membabi buta yang segala macam barang mengandung plastik diganti kayu. Di satu sisi aku senang dengan banyaknya orang di muka Bumi ini yang begitu aware dan tertarik dengan konsep zero waste. Konsep yang ternyata sudah ada sejak awal 2000-an. Tahulah, yah, isu tentang lingkungan dan puncaknya pemanasan global? Tapi di sisi lain aku juga sedih kalau itu hanya menambah daftar belanjaan kita. Daftarnya pasti panjang, menambah pengeluaran lain, belum lagi waktu dan jarak untuk mendapatkan si barang. Saat ini belum banyak toko offline yang menjual barang zero waste. Kebanyakan masih online. Bukan mengganti segala barang menjadi kayu yang utama, tapi bagaimana mengurangi sampah dan segala yang membuntutinya (jejak karbon, misalnya).
Sejauh ini aku termasuk yang membeli sedotan stainless steel, sikat gigi bambu, dan satu lembar reusable cotton pad. Well, setelah itu aku tidak berniat membeli segala tas belanja jaring atau tempat bekal stainless steel (selain karena harganya yang lumayan mahal).
Proses pembelian yang kebanyakan masih online pasti menyebabkan sampah paket. Bertambahlah sampah di rumah kita. Kalau enggak pinter-pinter muter otak, pasti berakhir di tempat sampah. Belum lagi proses produksinya yang apakah lebih ramah lingkungan. Apakah lebih pendek rantai produksinya dibanding tanpa sedotan yang bisa dipakai berulang kali?
Intinya bukan hal yang salah juga. Tapi kalau masih bisa diminum langsung, yah aku lebih memilih tanpa sedotan. Bahkan untuk alasan aestetik pun kalau hanya akan menambah sampah, lebih baik enggak usah. Gak masalah gak minum cantik, kan? Bisa kok tanpa sedotan. Kecuali kamu sakit dan gak bisa minum sambil duduk.
Ujung-ujungnya aku membuat sendiri napkin, reusable cotton pad, kantung belanja kain. Semuanya dari kain perca. Enggak beli bahan kain baru. Bahkan aku masih pakai kantung plastik kalau belanja. Kan masih bisa dipakai lagi. Aku masih beli yang plastik-plastik kalo butuh dan lebih mudah didapat.
Kita masih harus bijak dan berpikir kritis tentang apa itu zero waste. Bukan barangnya, tapi kebiasaannya yang harus dijaga.

Monday, June 29, 2020

Belajar Mengurangi Barang

Barang-barang sandang yang kumiliki saat ini tidak banyak berubah atau bertambah dibanding satu dekade lalu. Tapi masalah utamaku adalah beragam koleksi, pretelan kecil-kecil yang sampai memakan satu box ukuran 20 liter. Tidak banyak, tapi cukup mengganggu.
Sekitar pertengahan 2016, aku mulai membagikan barang-barang kecil tak terpakai, termasuk milik dua adik lelakiku. Ada jam tangan, pin-pin, gelang, rautan, beragam pensil dan penghapus yang semuanya adalah barang koleksi. Lalu aku mulai menjual buku second di Bukalapak dan Tokopedia. Sebagai kenangan aku memfoto barang-barang koleksi tadi dan menyimpannya di Instagram. Aku juga membuat kerajinan tangan dari karton tebal undangan sebagai hadiah untuk temanku.
Mengurangi barang-barang sandang ini masih berlanjut sampai sekarang. Apalagi setelah aku membaca buku Konmari dan Seni Hidup Minimalis, rasanya aku ingin membongkar seluruh isi rumah sebelum meninggalkannya dan memulai hidup baru.
Kita tidak bisa memisahkan decluttering dan sampah dari alam. Semuanya saling terhubung. Tidak afdhol rasanya kalau hanya fasih memilah sampah tapi punya barang di luar kebutuhan atau menerapkan hidup minimalis, tapi tidak memilah dan mengurangi sampah. Atau melakukan zero waste, tapi masih jahatin badan (makan gak bener).
Aku tidak ingin terganggu hanya karena banyak barang. Semakin banyak barang, semakin banyak waktu dan tenaga yang harus ada untuk merawat mereka. Padahal waktu kita bisa dipakai untuk hal lain yang lebih penting. Iya, kan?

Sunday, June 28, 2020

Stres Karena Sampah


Ditulisan sebelumnya aku sempat stres karena sampah. Sepertinya akan lebih mudah jika aku hidup sendiri atau mulai membangun keluarga baru. Terkadang rasa karena hanya “sendiri melakukan semuanya” datang dan membuat diri ini kecewa dan kesal. Tapi kalau aku melihat dari sudut pandang mereka, aku tidak bisa menyalahkan dengan begitu mudahnya. Kita semua berproses. Aku tahu itu. Kadang aku ingin bicara, “tolong jangan andalkan aku untuk urusan sampah dan segala yang berhubungan dengan rumah tangga. Ayo bekerja sama”. Tapi aku tahu ini bukan kisah di film atau novel yang dengan cepat seseorang berubah. Satu dua hari akan berjalan dengan baik proses memilah sampah, tapi satu saja racun malas kembali, maka semua kebiasaan yang sedang dibentuk akan kembali ke titik nol.
Sebenarnya aku tidak terlalu berharap mereka mau, tapi setidaknya tidak menambah sampah rumah tangga. Sampah yang kita hasilkan tidak hanya berakhir setelah diangkut tukang kebersihan RW. Kayak kalo udah keluar rumah, selesailah urusan sampah dan PR-nya. Tidak, tidak semudah itu.
Seiring bertambah informasi terkait sampah, aku semakin berusaha mencari cara agar sampahku (yang kuhasilkan) tidak menjadi masalah untuk orang lain. Rasanya sulit hanya karena sarana dan prasarana tidak banyak mendukung. Tapi masalahnya bukan itu. Aku ingin seperti masa ketika kecil atau pas mondok yang makan tiga kali sehari sudah cukup tanpa harus jajan atau beli minuman tambahan. Rasanya segalanya begitu tenang tanpa banyak sampah.

Belajar Zero Waste

Selama sepuluh tahun aku hanya konsen pada tiga jenis sampah: organik (yang selalu dipegang ibuku), kertas, dan plastik (apapun jenisnya). Karena masih kecil, masih remaja, masih awal 20-an, urusan sampah organik sudah otomatis ditangani ibuku. Aku hanya berusaha memilah sampah segala jenis kertas (campur aja) dan segala jenis kardus. Untuk sampah plastik keras (bukan kresek dan kemasan bekas snack atau sabun cuci) dikumpulkan dalam satu kardus atau kantung plastik besar.
Lalu aku menemukan informasi tentang berbagai jenis plastik (yang kodenya tertera di bagian bawah botol atau di belakang kemasan sabun cuci piring). Tapi belum memilah plastik berdasarkan jenisnya. Dari ke tiga jenis sampah di atas, aku mulai perhatian dengan sampah elektronik dan tetrapak. Belum selesai di urusan memilah, aku menemukan bank sampah di sekitar Depok yang memilah sampah sampai 30 jenis lebih. Dari situ aku semakin aware dengan segala barang di rumah dan sekitarku yang berpotensi menjadi sampah atau rongsokan di kemudian hari.
Aku baru sampai tahap memilah: kertas, organik, plastik, barang elektronik, tetrapak, dan isi steples, termasuk aluminium foil bekas coklat atau permen dan pita kawat penghias makanan atau souvenir. Aku belum pernah ke bank sampah. Sampah-sampah yang rumahku hasilkan biasa diambil pemulung atau tukang sampah RW, ke EwasteRJ dan ke Armada Kemasan Nusantara.
Karena mendapat informasi tentang bahayanya sampah organik basah (yang bisa menghasilkan gas metana dan lebih merusak lingkungan karena susah dipilah dan didaur ulang), aku mulai perhatian pada kantung plastik pembungkus soto, baso, mie ayam, snack basah, dan segala bungkus plastik yang basah atau berkuah. Caranya, yah, dicuci sampai tidak ada sisa-sisa kuahnya atau isinya.
Semakin ke sini, semakin banyak yang harus diurus, terutama plastik bungkus yang basah. Aku mulai kelelahan karena bukannya semakin ringan, tapi malah semakin bertambah. Sedikit-sedikit aku mengecek tempat sampah. Walau khusus sampah organik, yah, tetap mencemari si tong sampah. Aku semakin lelah dan kesal karena hanya sendiri mengurus rumah berisi empat orang yang suka beli makan. Keluargaku termasuk keluarga yang jarang masak dan lebih memilih beli makanan jadi di warteg atau rumah makan. Otomatis sampah plastik basah selalu ada. Iya, kalau aku yang pergi beli makan dipastikan bawa wadah dan kantung belanja sendiri. Tapi kalau anggota keluarga yang lain—kalian tahulah apa yang akan terjadi. Belum lagi kiriman makanan dari tetangga atau saudara.
Menolak dan mengurangi plastik memang cara paling tepat mencegah plastik basah dan kering masuk rumah. Tapi atas nama kebiasaan dan enggak enak, sulit melakukan keduanya. Pulang arisan, bawa oleh-oleh pakai plastik yang isinya mengandung minyak. Ada kiriman besek tetangga yang aqiqahan atau syukuran yang isinya udah tau apa, yah, juga menambah plastik. I feel exhausted. Belum lagi adek-adek yang jajan minuman gelas kekinian, ciki-ciki, biskuit berlapis coklat, dan masih banyak lagi jajan lain yang membuat si plastik kemasan bernoda. Aku pun terjebak pada rutinitas: cuci – lap – kumpulkan – kirim ke tempat yang tepat.
Aku pun mulai memutar otak untuk memutus rantai yang tidak sehat ini (untukku). Tapi aku tidak bisa serta merta saklek melarang plastik. Ibaratnya, aku tidak bisa marah pada mereka hanya karena aku sudah hafal perkalian lima dan mereka baru perkalian dua.
Setidaknya, sudah banyak yang tertangani terkait sampah rumah tangga. Kita mungkin baru ditahap sadar, sudah mulai memilah, dan menyerahkannya pada tempat yang tepat. Kita belum bisa mengurangi banyak pemakaian plastik terkait kebiasaan dan hal yang sudah biasa. Tapi, untuk kalian yang sama exhausted-nya dengan diriku, tetap lanjutkan untuk memilah. Lanjutkan dengan mengurangi pemakaiannya untuk diri sendiri. Sampai jumpa ditulisan berikutnya.